Sebuah Catatan Kebebasan
Something good will happen to you today and of course, no spoilers here.
Bisa dimengerti kenapa banyak orang Indonesia demen sama K-Drama atau “sinetron” yang datang dari negeri Gingseng, selain tentunya ada aktor atau aktris favorit mereka yang main, mungkin juga yang jadi penonton hardcore ngikutin penulis drama itu sendiri.
Menonton karya seni seperti film, musik, drama, teater, dll. juga merupakan salah satu cara untuk kabur dari realita yang mungkin agak mencekik buat kebanyakan orang, termasuk apa yang disajikan oleh salah satu drama yang seminggu terakhir baru gue selesaikan, My Liberation Notes.
Premisnya sederhana, ada tiga orang yang tiap hari bolak balik dari rumah-tempat kerja-nongkrong-pulang dan satu tetangga kobam yang emang kerjaannya, ”…minum sampe mabuuuuu…mabu tralalaaa…”.
Kemudian pada suatu hari ketiga Yeom bersaudara ini (Gi-Jeong, Chang-Hee, dan Mi-Jeong) memutuskan untuk mencari sesuatu yang bisa membuat mereka kabur dari kebosanan hidup mereka. Ada yang pengen dicintai, ada yang pengen beneran cuman hidup enak gak mikir kerjaan berat, ada juga yang pengen hidupnya lebih berwarna. Yang satu lagi si demen mabora pengennya ya…mabu aja, katanya sih:
“Gua itu lebih waras kalo gue lagi mabok ketimbang kalo gue lagi sober.” — Mr. Gu
Ok. Baik.
Sepanjang nonton 16 episode tipikal K-Drama yang berdurasi sekitar 60 menit-an ini, gue bener-bener kagum dengan penggambaran kehidupan “normal” yang disajikan di series ini, karena gak banyak kosmetik bertebaran yang biasanya bikin orang jadi agak halu sama penggambaran kehidupan di Korea, terutama di kota segede Seoul.
Aspek lain yang gue suka adalah di awal-awal series ini, gak terlalu banyak dialog yang harus diikutin. Bentuk interaksi yang ditampilkan lebih banyak lewat action atau pengulangan rutinitas yang kesannya melelahkan. Kekosongan dialog ini justru yang “berbicara”, mencoba mengajak penontonnya untuk melakukan observasi tipikal kehidupan yang dialami sama commuter yang tinggalnya jauh dari kota gede.
Mungkin yang ngerasa dirinya introvert, bener-bener dimanjakan oleh series ini. Gimana enggak, karakter utama series ini, Yeom Mi-Jeong (Kim Ji-Won) bener-bener enggak mau melakukan banyak interaksi dengan karakter di sekitarnya, bahkan termasuk sama keluarganya sendiri.
Soal sinematografi, gak bisa berkomentar banyak soal colour grading, mise-en-place, atau aspek-aspek lainnya yang bikin nyaman buat ditonton. Mungkin tipikal sinematografi Korea yang ketara adalah penggunaan garis atau border yang menggambarkan batas kedekatan antara satu karakter, dengan karakter lainnya. Mungkin kalau yang mau tau, bisa nonton ini aja:
Buat sebagian orang yang menonton K-Drama ini, tempo yang lambat dan juga interaksi beserta dialog yang langka bisa jadi deal-breaker. Kalau buat gue justru karena series ini terlalu dekat sama kehidupan banyak orang, sampai-sampai aura intimidatif nya keliatan banget. Wajar sih, lo nonton karya seni kan tujuannya buat kabur atau lepas dari realita dan melepas hormon serotonin yang ada di tubuh biar bisa menikmati hidup lebih bergairah, kan?
Tapi lucu juga sih, dengan judul “My Liberation Notes” atau arti kasarnya “Catatan Kebebasanku” justru lo malah diajak untuk mikir-mikir lagi, udah sebebas apa sih hidup lo?
Yang gue tangkep dari series ini sebenernya se-sederhana interaksi antara keputusan yang lo ambil dengan pengaruh yang diberikan sama lingkungan sekitar lo. Drama ini menggambarkan pendapat orang kadang bisa menjadi suatu faktor yang memberatkan keputusan seseorang.
Kayak semisal Yeom Gi-Jeong (Lee El) yang pengen bucin sama siapa aja yang dia temuin karena gak nemu-nemu laki-laki yang bisa dia jadiin pacar setelah denger pendapat dari temen-temennya kalau standard dia ketinggian.
Atau Yeom Chang-Hee (Lee Min-Ki) yang tadinya ngebet pengen punya mobil biar gak capek bolak-balik rumah-tempat kerja dan ngiri ngeliat rekan kerja nya pada pake mobil buat menunjang pekerjaan mereka.
Yeom Mi-Jeong yang bosen sama hidupnya sendiri dan pengen ada orang yang “memuja” dirinya, tapi gak mau kayak ikut-ikutan nongkrong sama rekan kerja nya yang kerjaannya ngumpul doang ngerumpi gajelas. Ya udah deh jadinya dia minta Mr. Gu (Son Sukku) buat bucin-in dia lah, istilahnya.
Dari ketiga contoh kasus di atas, ada nggak kata yang paling keras berteriak yang mungkin pantas untuk disematkan dalam kehidupan mereka?
Validasi.
Tapi validasi yang mereka butuh sebenernya juga dateng dari diri mereka sendiri kok. Dari awal mereka mau ina-ini-itu sebenernya mereka sudah punya tools-nya. Yang menghambat biasanya karena keadaan yang nggak mendukung aja sih.
Membebaskan diri dari hal yang membelenggu mereka bukan termasuk ke definisi escapism, yang hanya sekedar kabur tapi enggak menyelesaikan masalah. Sepanjang series ini, lo akan ngeliat proses karakter-karakter yang hadir punya perkembangan diri mereka sendiri, bahkan karakter sampingan macem temen-temen masa kecil Yeom bersaudara, atau orang-orangnya Mr. Gu.
Namun buat gue sendiri, yang membekas dari series ini selain tentunya mereka ngedapetin “kebebasan” mereka dengan cara mereka sendiri. Sesederhana bebas tanpa judgement dari orang lain, semisal menonton ini sambil makan mie kuah yang masih anget dikasih telor rebus, sawi, daun bawang, sama kecap dan sambel dikit.
-SR