“Kalau kau terlambat, film akan mulai tanpa kau!”
Kayaknya film pertama yang gue tonton pas SD/SMP. Lupa. Yang jelas masih jadi favorit, sesuai tantangan yang dikasih. Lumayan bakalan panjang sih ini, lebih mirip ke resensi film malah. Nah loh!
Disclaimer: Contains SPOILER! Read at your own risk.
“Tentu aja mereka bakal nunggu, orang filmnya di gue kok”, balas Joni.
Film ini jadi gambaran sekaligus epitomi pemetaan jenis-jenis penonton yang biasa ditemui di bioskop-bioskop kesayangan kalian. Kebetulan gue bisa nulis ini sesederhana karena kerinduan akan nonton film di bioskop, tepatnya di Indonesia. Sayang, gara-gara pandemi, gak ada film sama sekali yang bisa ditonton pas gue kemarin mudik. Huft.
Awal nonton film ini waktu pas SMP dan ditayangin di TV, gue dulu cuman beranggap kalau ini film nya ‘keren’ karena soundtrack nya yang kalau lo dulu punya lagunya di ponsel jaman itu, lo dianggep paling gaul karena dengerinnya lagu-lagu yang adanya di skena independen. Ya ditambah sama adanya Mariana Renata di situ, nikmat apa lagi yang kau dustakan?
Sebenernya sih yang gue pengen tulis di sini justru pengalaman nonton gue ketika pas gue udah masuk usia 20an, waktu itu di tahun 2016, tepatnya pas sambil nunggu waktu sahur di bulan Juni…lewat jalur yang tidak seharusnya.
(I can give you some justification about the inadequate and legal access to most of Indonesian movies back then in 2016, considering that I’ve been living in Germany since 2012, that should be a pass…or not!)
Yang jelas, seiring dengan bertambahnya umur, lo bakalan lebih peka soal hal-hal yang lebih mendetail ketika lo menonton film. Seenggaknya, bisa lah menghubungkan hal-hal yang trivial atau kalau lo emang belajar untuk me-review film, ya bisa mengaitkan satu sekuens di film-film itu ke hal-hal yang biasanya jadi ciri khas sang sutradara.
Sayangnya gue bukan orang yang bisa ngelakuin kedua hal itu dengan mengedepankan objektivitas untuk bisa dibaca dan dimengerti sama orang-orang. Usaha yang bisa gue lakuin paling cuman sekedar nunjukkin apa yang gue ngeh aja sih.
Semua soundtracknya berhubungan dan ngegambarin langsung perasaan atau pemikiran dari sisi Joni
Film ini memorable bukan cuman karena yang main di sini rata-rata sekarang udah jadi artis kelas atas atau punya paras yang oke, tapi bisa jadi ini sebagai penanda “humble beginning” dari sang sutradara sendiri.
Kalau mau nge-list semua soundtracknya di sini secara kronologis, ya agak repot, tapi gue coba runut dari lagu-lagu yang gue tau aja sih ya. Fasten your seatbelt!
- Teenage Death Rockstar — I’ve got Johnny in My Head
Johnny di sini ya secara nggak langsung nama Joni yang di-enggres-kan dan ngajak lo buat nginget-nginget namanya sebagai pembuka film. Pas nonton ini di 2016, gue melihat perubahan drastis muka Jakarta selama 10 tahun terakhir, terutama ketika lo liat daerah Tanah Abang yang mungkin masih didominasi sama Sogo Jongkok. Merinding asli, nonton beginian malem-malem.
- Sore — Funk The Hole
Sekuens yang paling berkesan buat gue pas cymbal berbunyi nyaring seiring dengan munculnya Angelique (Mariana Renata) yang seakan-akan membuat lubang pikirannya Joni ya seketika bergejolak, sama kayak judul lagunya sih.
- Sajama Cut — Less Afraid
Joni udah mulai melayang ini…pikirannya, imajinasinya. Mulai berani, udah siap-siap mendekati cewek yang pakaiannya ini khas banget untuk ukuran film Indonesia di zaman 2000-an. Tapi dia bakalan “more afraid” ketika tahu motornya dicuri abis nyebrangin seorang kakek.
- Goodnight Electric — Bedroom Avenue
Your eyes, your lips
You whisper to the air
Sampai lupa, ini pas awal-awal joni ngeliat si karakter Angelique muncul ke permukaan. Sebuah epitomi tentang mendapatkan cewek impian lewat mimpi di siang bolong.
- Rebecca Theodora — Satu Waktu
Scene ini yang menemukan Joni dengan roll filmnya yang sempet juga dicuri di tengah-tengah. Kalau ada yang familiar sama beberapa muka pas lagu ini dimainkan, ada gitarisnya Garasi yang kebetulan ada filmnya juga. Another classic.
- Zeke and The Popo — Mighty Love
Smack my face and you will see
This piece will never be free
Oh please somebody
Connect me back into reality
Setengah dari film ini dihabiskan dengan perjalanan Joni yang ngebawa balik ke tujuan awal dia sebagai pengantar roll film, di mana dia harus kejar-kejaran sama waktu setelah ngalamin berbagai hal-hal absurd dalam satu hari. Cocok aja gitu sama liriknya yang emang nyuruh dia buat balik ke realita lagi, kalau “reputasi” dia yang nggak pernah telat nganter bakalan terancam ternodai.
- The Adams — Konservatif
Salah satu lagu yang udah berusia 15 tahun semenjak dirilis dan selalu menjadi lagu yang wajib dibawakan oleh sang empunya. Di akhir film ini, lo kayak ikutan berbahagia macem Pak Ucok (Gito Rollies) dengan cerutu nya. Lagu ini paling nggak bisa dipisahkan sama film ini. Entah kenapa emang udah klik aja sih.
Mungkin “Konservatif” di sini bisa dihubungkan dengan pemikiran Joni yang selalu mengutamakan ketepatan waktu dalam urusan antar-mengantar, sama dengan salah satu baris di lagu ini yang bilang kalau jam 9 malam udah harus pulang. Karena emang udah malem juga sih, udah tiga gelas juga kan minumnya?
Film ini memorable bukan cuman karena yang main di sini rata-rata sekarang udah jadi artis kelas atas atau punya paras yang oke, tapi bisa jadi ini sebagai penanda “humble beginning” dari sang sutradara sendiri. Ini mungkin analisis sotoy gue aja sih sepertinya, tapi kapan lagi lo istilahnya diajak ngobrol sama Joni nya langsung lewat narasi yang dia kasih selama nonton film ini dan lo disuruh merhatiin tipe-tipe penonton yang dateng ke bioskop?
Pas nonton ini juga bisa dibilang lagi kena homesick juga, ditambah lagi pas puasa, jadi kayak ngerasa ada nostalgia nya dikit-dikit, lah. Tapi karena merhatiin juga gimana Jakarta saat film ini lagi diproduksi di awal 2000-an. Aura jadulnya dapet dan masih keinget sampe sekarang.
The main appeal, not gonna lie, ya emang layak disematkan ke Mariana Renata dan Nico Saputra sih. Kalau NicSap (panggilan para netijen untuk beliau saat ini) emang sepertinya udah jadi contoh sekaligus biasanya jadi garansi film yang lo tonton bakalan bagus. Sementara itu, lo ngeliat Mariana Renata di film ini ya gimana lo gak jatuh hati, coba? Aktingnya bagus pulak!
Gue nggak pernah sebelumnya me-review film dengan format kayak begini. Adapun gue punya Letterboxd yang udah lama banget gak terjamah. Males aja sih soalnya, karena berasa sok iye aje gue review film padahal nggak begitu ngerti aspek apaan aja yang harus dinilai, atau kayak misalnya disuruh ngejelasin dari segi teknis nya blablabla. Let that be other’s job, gue mah cukup menikmati aja.
Lagian gue gak begitu peduli, karena buat gue, film favorit itu subjektif banget dan oke-oke aja kalau film favorit lo itu mungkin di mata orang lain ya biasa aja.
-SR
Day 7 of the challenge. Your daily music is basically already up there.