Berkelana Sendiri

Shubhi Rofiddinsa
3 min readMar 17, 2017

--

Disclaimer: The inspiration came from my journey to Frankfurt several days ago to watch Warpaint live. What an amazingly exploding musical imagination in the best way possible :D. I’d love to see them live again in the foreseeable future.

Photo by: Shubhi Rofiddinsa (author). In Frame: Iqbal Raharja. Using this photo means you are agreeing to always put credit to the creator. | Source

17. März 2017: Der sechsten Beitrag des Jahres

Hari Selasa kemarin, tepatnya 14 Maret 2017, menjadi hari pertama “masuk sekolah” setelah off-time yang cukup panjang pasca semester 5 yang melelahkan. Konser Warpaint menjadi penutup manis masa libur sekaligus menjadi pembuka semester baru saya dengan penuh energi. Konser yang begitu meledakkan pikiran dan batin saya dengan paduan hentakan drum, groovy basslines dan clean, chorus-y guitar sounds dari all-female quartet asal Los Angeles, Amerika Serikat ini.

Dan saya menikmati setiap detiknya bersama-sama, dikelilingi oleh orang-orang yang menonton juga saat itu. Orang-orang yang tidak saya kenal, yang mungkin sebagian dari mereka pun juga bepergian sendiri-sendiri. Ada kepuasan tersendiri, bagaimana bisa anda bersenang-senang secara bersama-sama, namun pada saat yang bersamaan anda tidak mengenal satu sama lain.

Namun, dimanakah letak kepuasan tersendiri itu?

Menurut Aristoteles, disamping makhluk individual, manusia juga termasuk makhluk sosial. Manusia memiliki kebutuhan untuk berinteraksi dengan satu sama lain.

Ada kalanya anda menginginkan waktu yang berkualitas untuk diri sendiri, dimana interaksi dengan orang lain seolah-olah menjadi asing untuk beberapa saat. Menikmati waktu sendiri pada periode itu menjadi sebuah “kemewahan” yang mungkin jarang anda dapat jika anda termasuk orang yang cukup sibuk dengan kesehariannya.

Dalam kasus ini, bepergian sendiri membuat saya menemukan cara baru dalam menikmati me time. Saya dapat menikmati waktu tanpa adanya interupsi dari luar (kecuali jika ada pemeriksaan tiket, namun kita berikan pengecualian untuk hal ini). Saya juga dapat merefleksikan diri sendiri, melihat sejauh mana saya telah berkembang sebagai manusia. Saya juga bisa menjadi kuat dan rapuh pada saat bersamaan tanpa ada orang-orang yang saya kenal tahu saya bisa seperti itu.

Berkelana sendiri rasanya bukan hal asing bagi saya, mengingat saya sangat menyukai kebiasaan ini semenjak saya belum menginjakkan kaki di tanah para Kraut ini (Kraut = slang for Germans). Pergi ke bioskop sendiri, cari makan sendiri sambil menunggu adik saya pulang sekolah, menyetir mobil sendiri ditengah macet kelas jahanam Jakarta.

Namun kata “sendiri” itulah yang masih menjadi momok bagi orang-orang yang tidak terbiasa berkelana seorang diri.

Bagi mereka, bepergian sendiri menjadi hal yang sangat tabu, khususnya untuk orang Indonesia yang notabene tidak terbiasa dengan konsep berkelana sendiri. Banyak pertanyaan dan pernyataan klasik akan sering muncul jika anda berencana pergi sendiri.

“Pergi sama siapa, bro?”

“Males ah kalo cuman berdua ato bertiga doang. Gak rame.”

“Kok sendirian aje lu? Gue jadi lo sih ogah sendokiran gak jelas gitu”

Dan masih banyak lagi yang mungkin pernah terucap dari mulut anda baik secara sadar maupun tidak. Saya tidak mendiskreditkan orang-orang yang gemar bepergian ramai-ramai kok, namun orang-orang yang berkelana sendiri pun seharusnya tidak perlu mendapatkan treatment di atas, karena baik sendiri maupun ramai-ramai, jika perjalanannya bisa dinikmati, gak masalah dong ya?

Pelajaran besar dalam perjalanan ke Frankfurt beberapa hari yang lalu yang saya dapat adalah, berkelana sendiri bukan akhir dari segalanya (halah!). Bukan berarti anda tidak dapat menikmati setiap detik dari perjalanan anda (jujur pas pulang dan pergi kemarin, agak ngantuk-ngantuk mulu) namun anda pun bisa mendapatkan kepuasan dari momen-momen yang telah anda alami pada saat itu yang sepadan dalam bepergian bersama dalam berkelana sendirian.

It is good to have an end to journey toward, but it is the journey that matters in the end. — Ursula K. Le Guin

-SR

--

--

Shubhi Rofiddinsa
Shubhi Rofiddinsa

Written by Shubhi Rofiddinsa

Conveniently Mundane. Voice behind Tepak Bulu.

No responses yet