Angka Yang Oke Untuk Kembali Baca Buku

Switching back to Bahasa Indonesia for this one because I need my brain and motivation ready for the first day of my thesis. Day 13 of #30DaysWritingChallenge. Wish me luck!

Shubhi Rofiddinsa
4 min readNov 1, 2020
Image by Nino Carè from Pixabay

Padahal toko buku adalah salah satu tempat paling menenangkan di jagat bumi. Serius. Ke manapun lo pergi, kalau ada toko buku, pasti bawaannya tenang. Apalagi toko buku yang biasanya punya keluarga gitu, ada sesuatu yang lain yang gak bisa lo temuin di toko buku gede.

Empat. Biasanya angka ini identik dengan kesialan, bareng-bareng lah sama angka 13 yang kebetulan jadi tema tulisan hari ini (pagi ini kalo yang baca tulisan ini di Indonesia). “I am Number Four” kayaknya lebih dikenal sebagai film ketimbang buku berseri, yang kebetulan gue punya semua mulai dari buku pertama sampai buku terakhirnya.

Dulu pas SMA sebenernya gue nggak begitu rajin baca buku, mungkin karena lebih ke jarang diajak ke toko buku aja kali yak. Kalopun ke sana, biasanya selain beli buku bank soal untuk latihan ujian, ya paling beli perlengkapan sekolahan untuk tahun ajaran baru. Beli buku pun biasanya kalo emang ada yang lagi bagus atau nge-hype lah istilahnya.

Padahal toko buku adalah salah satu tempat paling menenangkan di jagat bumi. Serius. Ke manapun lo pergi, kalau ada toko buku, pasti bawaannya tenang. Apalagi toko buku yang biasanya punya keluarga gitu, ada sesuatu yang lain yang gak bisa lo temuin di toko buku gede. Meskipun ya toko buku mana aja sih pasti enak-enak aja, apalagi kalo nemu spot yang enak, kayak dapet pemandangan Bundaran HI di Gra*med GI, misalnya.

You could spot Gramedia from this photo if you are familiar with Grand Indonesia. Source

Kebanyakan masa SMP-SMA gue lebih seneng minjem buku yang dibawa temen gue ke sekolahan sih. Karena biasanya demand nya tinggi, kadang mau gak mau mesti habisin buku dalam seminggu. Saat itu gue termasuk pembaca yang relatif cepet, makanya rugi juga kalo keseringan beli buku hahaha.

Sampai pada akhirnya waktu gue ke Jerman, gue jenuh dengan hiburan di komputer. Apalagi waktu itu laptop juga gak mumpuni banget kalau mau install game yang relatif makan RAM/CPU. Jadinya balik lagi beli buku, tapi kali ini mau gak mau nyari buku bahasa Inggris, karena akan jadi pekerjaan rumah yang sangat menyebalkan kalo gue ngoyo nyari buku berbahasa Indonesia.

Alasan sebenernya nyari buku bahasa Inggris ya semata-mata karena capek ketemu sama buku berbahasa Jerman terus. Buku bahasa Inggris bisa dibilang sebagai pelarian gue di masa-masa awal gue menjajaki tanah Krauts ini. Sayangnya, waktu itu kemampuan bahasa Inggris gue relatif…jelek (sampai sekarang sih, gak usah banyak alesan, Bi!)

Akhirnya waktu gue main ke toko buku di Berlin, gue main ke bagian “Young Adults” atau bagian remaja lah istilahnya. Gue akhirnya menemukan buku ketiga dari serialnya “I am Number Four”, yaitu “The Rise of Nine”, setelah sebelumnya buku kedua yang berjudul “The Power of Six” udah gue beli juga pas di Indonesia.

Alex Pettyfer and Teresa Palmer as Four and Six. Source: https://static01.nyt.com/images/2011/02/18/arts/18iamnum-span/18iamnum-span-articleLarge.jpg?quality=75&auto=webp&disable=upscale

Kalau yang udah keseringan baca, mungkin premisnya membosankan, ya. Tapi buat gue itu malah jadi salah satu seri buku yang bikin gue jadi demen baca buku lagi.

Premisnya sih sederhana, ada sembilan anak dengan kekuatan spesial dilarikan dari planet yang bernama Lorien yang sedang dalam ambang kehancuran akibat ulah Mogadorians. Kemudian nyangsang ke bumi terus ya berusaha sembunyi dari kejaran musuh. Karena mereka adalah sisa dari orang-orang Lorien ini, makanya mereka dikejar sampai mati.

Cara membunuh mereka ini nggak bisa sembarangan, mereka mesti dibunuh berdasarkan urutan masing-masing. Itulah kenapa buku/serial ini dinamakan “I am Number Four”, karena dia adalah orang ke-empat yang harus dibunuh sebelum yang lainnya bisa ikutan terbunuh.

Kalau ngeliat filmnya, di awal-awal, tiga Loric (makhluk yang berasal dari planet Lorien) udah berhasil dibunuh oleh pasukan Mogadorian. Cerita sebenarnya dimulai dari si Nomor Empat ini. Blablabla, akhirnya cerita berjalan sesuai apa yang ada di buku (sori, gak bisa spoiler xD).

Kalau ngeliat proses penceritaan bukunya, ini mirip sama seri bukunya Dewi ‘Dee’ Lestari yang berjudul “Supernova” (sayangnya udah mulai agak susah nyari buku ini, kecuali pakai platform dari Indonesia). Karakter utama dikejar-kejar, ketemu kekasihnya, abis itu tiap bab ya diceritain proses evolusi si pemeran utama untuk jadi lebih kuat lagi, terus ketemu sama musuhnya, ketemu sama boss nya, sempet kalah, ngumpul lagi, latihan lagi, sampai akhirnya menang dan dapet happy ending.

Kalau yang udah keseringan baca, mungkin premisnya membosankan, ya. Tapi buat gue itu malah jadi salah satu seri buku yang bikin gue jadi demen baca buku lagi. Dari situ, gue jadi mulai berusaha menyisihkan uang jajan/uang bulanan untuk beli minimal satu buku. Karena gue bisa baca cepet, makanya kadang-kadang gue suka lambatin sendiri baca buku gue dan mencoba perlahan meresap tiap halaman.

Eh, tapi malah kebawa lelet sekarang, jadinya ngabisin satu buku sebulan aja susahnya setengah ampun. Duh! Kayaknya 2021 gue harus mulai banyak baca buku lagi. Mulai utak atik lagi Goodreads, biar bisa ikutan teraktualisasi dengan buku-buku baru.

Disuruhnya sih ceritain soal buku favorit, tapi selalu melenceng dari esensi tantangan sebenarnya. Eh, apa nggak, ya? Kan intinya konsistensi nulis selama 30 hari, bukan?

-SR

--

--

Shubhi Rofiddinsa
Shubhi Rofiddinsa

Written by Shubhi Rofiddinsa

Conveniently Mundane. Voice behind Tepak Bulu.

No responses yet